0

Takut Miskin Di Akhirat

Mengingat harga-harga barang kebutuhan terus meningkat, seorang pemuda selalu mengeluh karena tak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Setelah berdiskusi dengan seorang kiai makrifat, pemuda itu pun mengikuti anjurannya untuk menjalankan shalat Hajat serta tetap istiqomah melaksanakan shalat wajib lima waktu.
”Pak Kiai, tiga tahun sudah saya menjalankan ibadah sesuai anjuran Bapak. Setiap hari saya shalat Hajat semata-mata agar Allah SWT melimpahkan rezeki yang cukup. Namun, sampai saat ini saya masih saja miskin,” keluh si pemuda.
“Teruskanlah dan jangan berhenti, Allah selalu mendengar doamu. Suatu saat nanti pasti Allah mengabulkannya. Bersabarlah!” Jawab sang kiai.
”Bagaimana saya bisa bersabar, kalau semua harga kebutuhan serba naik! Sementara saya masih juga belum mendapat rezeki yang memadai. Bagaimana saya bisa memenuhi kebutuhan hidup?”
”Ya tentu saja tetap dari Allah, pokoknya sabar, pasti ada jalan keluarnya. Teruslah beribadah.”
”Percuma saja Pak Kiai. Setiap hari shalat lima waktu, shalat Hajat, shalat Dhuha, tapi Allah belum juga mengabulkan permohonan saya. Lebih baik saya berhenti saja beribadah…” jawab pemuda itu dengan kesal.
”Kalau begitu, ya sudah. Pulang saja. Semoga Allah segera menjawab permintaanmu,” timpal kiai dengan ringan.
Pemuda itu pun pulang. Rasa kesal masih menggelayuti hatinya hingga tiba di rumah. Ia menggerutu tak habis-habisnya hingga tertidur pulas di kursi serambi. Dalam tidur itu, ia bermimpi masuk ke dalam istana yng sangat luas, berlantaikan emas murni, dihiasi dengan lampu-lampu terbuat dari intan permata. Bahkan beribu wanita cantik jelita menyambutnya. Seorang permaisuri yang sangat cantik dan bercahaya mendekati si pemuda.
”Anda siapa?” tanya pemuda.
”Akulah pendampingmu di hari akhirat nanti.”
”Ohh… lalu ini istana siapa?”
”Ini istanamu, dari Allah. Karena pekerjaan ibadahmu di dunia.”
”Ohh… dan taman-taman yang sangat indah ini juga punya saya?”
”Betul!”
”Lautan madu, lautan susu, dan lautan permata juga milik saya?”
”Betul sekali.”
Sang pemuda begitu mengagumi keindahan suasana syurga yang sangat menawan dan tak tertandingi. Namun, tiba-tiba ia terbangun dan mimpi itu pun hilang. Tak disangka, ia melihat tujuh mutiara sebesar telor bebek. Betapa senang hati pemuda itu dan ingin menjual mutiara-mutiara tersebut. Ia pun menemui sang kiai sebelum pergi ke tempat penjualan mutiara.
“Pak Kiai, setelah bermimpi saya mendapati tujuh mutiara yang sangat indah ini. Akhirnya Allah menjawab doa saya,” kata pemuda penuh keriangan.
”Alhamdulillah. Tapi perlu kamu ketahui bahwa tujuh mutiara itu adalah pahala-pahala ibadah yang kamu jalankan selama 3 tahun lalu.”
”Ini pahala-pahala saya? Lalu bagaimana dengan syurga saya Pak Kiai?”
”Tidak ada, karena Allah sudah membayar semua pekerjaan ibadahmu. Mudah-mudahan kamu bahagia di dunia ini. Dengan tujuh mutiara itu kamu bisa menjadi miliader.”
”Ya Allah, aku tidak mau mutiara-mutiara ini. Lebih baik aku miskin di dunia ini daripada miskin di akhirat nanti. Ya Allah kumpulkan kembali mutiara-mutiara ini dengan amalan ibadah lainnya sampai aku meninggal nanti,” ujar pemuda itu sadar diri. Tujuh mutiara yang berada di depannya itu hilang seketika. Ia berjanji tak akan mengeluh dan menjalani ibadah lebih baik lagi demi kekayaan akhirat kelak. [dari guyon orang-orang makrifat, wibi ar].
Di kutip dari koran republika
Baca Selengkapnya...
0

Konsep Menjadi Muslim Kaffah

Seringkali kita mendengar sebagian orang mendakwahkan bahwa kita semua harus menjadi muslim yang kaffah. Yang mereka maksudkan dengan kaffah adalah bahwa umat Islam harus menguasai dunia dan akhirat. Kejayaan yang pernah dicapai pada era masa lampau tidak lain merupakan wujud dari Islam yang kaffah itu. Jika pada masa lalu Islam secara politik pernah menguasai dunia, maka kekuasaan itu sekarang pun harus diwujudkan kembali. Masalah politik dijadikan sebagai pintu utama untuk membuka dan mengembalikan kembali kejayaan Islam masa lampau. Maka tak pelak, jika pengertian kaffah dikaitkan dengan masalah kekuasaan atau politik Islam.
Istilah Islam yang kaffah seringkali dihubungkan dengan pernyataan QS. al-Baqarah: 208. Ayat itu berbunyi: “udkhulu fis silmi kaffah”. Pada umumnya, ayat ini diterjemahkan menjadi “masuklah Islam secara menyeluruh”. Imam Zamakhsyari dalam tafsirnya al-Kasysyaf menafsirkan kata as-silm dengan as-salam. As-salam berarti ketaatan (ath-tha’ah) dan sikap berserah diri (al-istislam). Jika ayat tersebut dipahami, maka artinya adalah “masuklah ke dalam ketaatan atau ketundukan secara penuh”. Dengan kata lain, ketaatan dan ketundukan seorang muslim kepada Allah harus dilakukan secara penuh, tidak separoh-separoh.
Menurut Imam al-Zamakhsyari, ayat tersebut menyerukan bentuk ketaatan dan ketundukan kepada Allah secara total karena sebagian Ahli Kitab masih ada yang beriman kepada nabi dan kitab mereka, dan karena orang munafik hanya beriman sebatas lisan saja. Dalam sebuah riwayat dinyatakan, bahwa “Abdullah bin Salam pernah meminta izin kepada nabi Saw untuk menunaikan hari Sabat, dan membaca kitab Taurat dalam shalatnya.” Islam tidak menginginkan bentuk ketaatan yang separoh-separoh dan tidak total. Jadi, pengertian as-silm dan kaffah terkait dengan bentuk penghambaan yang total kepada Allah SWT. As-silm memberikan pengertian tentang cara keberagamaan yang total untuk tunduk kepada sang khaliq secara menyeluruh.
Dalam rumusan klasik, bentuk totalitas keberagamaan (Islam) tidak dapat dipisahkan dengan iman dan ihsan. Iman adalah sebuah pengakuan melalui lisan yang harus dibarengi dengan komitmen dalam hati akan kebenaran adanya Allah dan ajaran-ajaran-Nya. Keimanan menjadi struktur batin atau internal yang harus dibangun di dalam setiap diri seseorang yang muslim. Totalitas dalam beragama butuh pada struktur bangunan diri yang kokoh sehingga tidak mudah rapuh, dan tidak bertindak setengah-setengah.
Sementara itu, ihsan merupakan aktualisasi dari komitmen yang dibangun dalam struktur batin diri setiap muslim-mukmin. Cara keberagamaan tidak cukup dengan adanya komitmen dalam diri dalam wujud pengakuan kebenaran Allah dan ajaran-ajaran-Nya. Tetapi, mengimplementasikan apa-apa yang menjadi ajaran-Nya menjadikan agama mampu melakukan misinya untuk melakukan transformasi sosial ke arah yang lebih manusiawi dan berperadaban. Nilai-nilai keadilan, persamaan, persaudaraan dan seterusnya yang diajarkan oleh agama hanya akan menjadi ide-ide atau gagasan saja tanpa dimplementasikan dalam perilaku sehari-hari. Ihsan adalah implementasi dari ketundukan dan ketaatan kepada Allah. Atau dengan kata lain, ihsan merupakan amal shaleh.
Antara iman dan ihsan harus seimbang. Seorang yang muslim harus menyeimbangkan antara iman dan ihsan. Menjadi muslim yang kaffah berarti sikap totalitas dalam diri untuk membangun komitmen pengakuan akan adanya Allah dan pengimplementasian ajaran-ajaran-Nya dalam perilaku sehari-hari. Ukuran seseorang menjadi muslim secara sederhana sering kita dengar melalui sabda Saw, bahwa seseorang menjadi betul-betul muslim jika orang yang berada di sekitarnya tidak tergangggu oleh tangan dan lisan (al-muslim man salima al-muslimuna min lisanihi wayadihi). Artinya, dalam diri seorang muslim harus ada komitmen diri terhadap Allah dan pengimplementasian nilai ajaran-Nya.
Rapuhnya sikap totalitas dalam diri seorang muslim akan berdampak pada munculnya sikap-sikap negatif yang tidak saja membahayakan diri sendiri tetapi juga merugikan umat manusia. Sikap munafik, barangkali dapat dijadikan contoh dari rapuhnya struktur batin keberagamaan seorang muslim, yang dapat merugikan kepentingan umum. Rasulullah Saw bersama para sahabat mengalami kerugian akibat ulah sahabat-sahabat yang munafik, yaitu ketika terjadi perang Uhud. Dalam perang Uhud nabi dan para sahabat mengalami kekalahan. Sebagian pasukan perang dari kalangan sahabat tidak memiliki sikap totalitas keberagamaan; mereka bersikap mendua (munafik). Konon menurut cerita, ada sekitar tiga ratus pasukan yang membatalkan diri untuk tidak ikut perang Uhud. Nabi pun marah dan kecewa.
Peristiwa pengkhianatan sebagian pasukan perang sebagaimana yang terjadi dalam perang Uhud tersebut Secara teologis, menjadi bukti ketidak-totalitasan keberagamaan seorang yang beragama. Ia hanya beriman sebatas lisan, sementara dalam level implementasinya berbuat tidak sesuai dengan yang diimani. Oleh karena itu, orang yang beragama seperti ini digambarkan oleh al-Qur’an sebagai orang yang menipu Allah dan menipu diri sendiri (QS. an-Nisa’: 142). Dikatakan menipu karena ia telah mengkhianati komitmen diri dalam mengakui Allah dan menjalankan ajaran-ajaran-Nya.
Pada dasarnya, konsep muslim kaffah terkait dengan sikap setengah-setengah dalam beragama (baca: memeluk Islam). Ia tidak memiliki keterkaitan dengan menegakkan ‘kekuasaan’ Islam atau pemerintahan Islam. Menjadi muslim yang kaffah berarti membangun sikap ketundukan atau ketaatan dalam diri melalui komitmen pengakuan akan kebenaran Allah dan pengimplementasian nilai-nilai ajaran-Nya; harus ada keseimbangan antara konsep yang diyakini dengan praktik di tengah kehidupan sehari-hari sehingga perubahan sosial ke arah yang lebih manusiawi dan berperadaban dapat diwujudkan. Memaknai ‘Islam yang kaffah’ dengan upaya untuk menegakkan agama Allah melalui penegakan kekuasaan sama halnya dengan menyeret Islam ke dalam kepentingan politik kekuasaan yang nista. Singkatnya, konsep Islam kaffah tidak ada kaitannya dengan penegakan khilafah islamiyah. Karena, menegakkan ajaran agama tidak meniscayakan ditegakkannya sebuah kedaulatan politik yang berbaju agama. Sumber Tulisan
Baca Selengkapnya...
0

HUKUM KB DALAM ISLAM

Banyak orang beranggapan bahwa banyak anak justru akan menimbulkan berbagai persoalan. Banyak juga wanita muslimah yang terpaksa membatasi jumlah anak dengan melakukan KB alih-alih untuk merencanakan keluarga ke depan serta agar memuluskan perjalanan kariernya. Namun Bagaimanakah Islam menanggapi persoalan KB ini??? 
Pertanyaan.
Syaikh Abdul Azin bin Baz ditanya : Apa hukum KB ?
Jawaban.
“Ini adalah permasalahan yang muncul sekarang, dan banyak pertanyaan muncul berkaitan dengan hal ini. Permasalahan ini telah dipelajari oleh Haiah Kibaril Ulama (Lembaga di Saudi Arabia yang beranggotakan para ulama) di dalam sebuah pertemuan yang telah lewat dan telah ditetapkan keputusan yang ringkasnya adalah tidak boleh mengkonsumsi pil-pil untuk mencegah kehamilan.
Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala mensyariatkan untuk hamba-Nya sebab-sebab untuk mendapatkan keuturunan dan memperbanyak jumlah umat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
Artinya : “Nikahilah wanita yang banyak anak lagi penyayang, karena sesungguhnya aku berlomba-lomba dalam banyak umat dengan umat-umat yang lain di hari kiamat (dalam riwayat yang lain : dengan para nabi di hari kiamat)”.
[Hadits Shahih diriwayatkan oleh Abu Daud 1/320, Nasa’i 2/71, Ibnu Hibban no. 1229, Hakim 2/162 (lihat takhrijnya dalam Al-Insyirah hal.29 Adazbuz Zifaf hal 60) ; Baihaqi 781, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 3/61-62]
Karena umat itu membutuhkan jumlah yang banyak, sehingga mereka beribadah kepada Allah, berjihad di jalan-Nya, melindungi kaum muslimin -dengan ijin Allah-, dan Allah akan menjaga mereka dan tipu daya musuh-musuh mereka.
Maka wajib untuk meninggalkan perkara ini (membatasi kelahiran), tidak membolehkannya dan tidak menggunakannya kecuali darurat. Jika dalam keadaan darurat maka tidak mengapa, seperti :
Sang istri tertimpa penyakit di dalam rahimnya, atau anggota badan yang lain, sehingga berbahaya jika hamil, maka tidak mengapa (menggunakan pil-pil tersebut) untuk keperluan ini.
Demikian juga, jika sudah memiliki anak banyak, sedangkan isteri keberatan jika hamil lagi, maka tidak terlarang mengkonsumsi pil-pil tersebut dalam waktu tertentu, seperti setahun atau dua tahun dalam masa menyusui, sehingga ia merasa ringan untuk kembali hamil, sehingga ia bisa mendidik dengan selayaknya.
Adapun jika penggunaannya dengan maksud berkonsentrasi dalam berkarier atau supaya hidup senang atau hal-hal lain yang serupa dengan itu, sebagaimana yang dilakukan kebanyakan wanita zaman sekarang, maka hal itu tidak boleh”. [Fatawa Mar’ah, dikumpulkan oleh Muhammad Al-Musnad, Darul Wathan, cetakan pertama 1412H]
Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : “Ada seorang wanita berusia kurang lebih 29 tahun, telah memiliki 10 orang anak. Ketika ia telah melahirkan anak terakhir ia harus melakukan operasi dan ia meminta ijin kepada suaminya sebelum operasi untuk melaksanakan tubektomi (mengikat rahim) supaya tidak bisa melahirkan lagi, dan disamping itu juga disebabkan masalah kesehatan, yaitu jika ia memakai pil-pil pencegah kehamilan akan berpengaruh terhadap kesehatannya. Dan suaminya telah mengijinkan untuk melakukan operasi tersebut. maka apakah si istri dan suami mendapatkan dosa karena hal itu ?”
Jawaban.
Tidak mengapa ia melakukan operasi/pembedahan jika para dokter (terpercaya) menyatakan bahwa jika melahirkan lagi bisa membahayakannya, setelah mendapatkan ijin dari suaminya. [Fatawa Mar’ah Muslimah Juz 2 hal. 978, Maktabah Aadh-Waus Salaf, cet ke 2. 1416H]
FATAWA LAJNAH AD-DAIMAH
Pertanyaan.
Lajnah Daimah ditanya : “Apa hukum memakai pil-pil pencegah kehamilan untuk wanita-wanita yang sudah bersuami ?”
jawaban.
Seorang istri tidak boleh menggunakan pil pencegah kehamilan karena takut banyak anak, atau karena harus memberikan tambahan belanja. Tetapi boleh menggunakannya untuk mencegah kehamilan dikarenakan.
Adanya penyakit yang membahayakan jika hamil
Dia melahirkan dengan cara yang tidak normal bahkan harus melakukan operasi jika melahirkan dan bahaya-bahaya lain yang serupa dengan hal tersebut.
Maka dalam keadaan seperti ini boleh baginya mengkonsumsi pil pencegah hamil, kecuali jika ia mengetahui dari dokter spesialis bahwa mengkonsumsinya membahayakan si wanita dari sisi lain” [Fatawa Mar’ah Juz 2 hal 53]
FATAWA SYAIKH IBNU UTSAIMIN
Pertanyaan.
“Seorang ikhwan bertanya hukum KB tanpa udzur, dan adakah Udzur yang membolehkannya?”
Jawaban.
Para ulama telah menegaskan bahwa memutuskan keturunan sama sekali adalah haram, karena hal tersebut bertentangan dengan maksud Nabi mensyari’atkan pernikahan kepada umatnya, dan hal tersebut merupakan salah satu sebab kehinaan kaum muslimin. Karena jika kaum muslimin berjumlah banyak, (maka hal itu) akan menimbulkan kemuliaan dan kewibawaaan bagi mereka. Karena jumlah umat yang banyak merupakan salah satu nikmat Allah kepada Bani Israi.
Artinya : “Dan Kami jadikan kamu kelompok yang lebih besar” [Al-Isra : 6]
Artinya : “Dan ingatlah di waktu dahulunya kamu berjumlah sedikit, lalu Allah memperbanyak jumlah kamu” [Al-A’raf : 86]
Kenyataanpun mennguatkan pernyataan di atas, karena umat yang banyak tidak membutuhkan umat yang lain, serta memiliki kekuasaan dan kehebatan di depan musuh-musuhnya. Maka seseorang tidak boleh melakukan sebab/usaha yang memutuskan keturunan sama sekali. Allahumma, kecuali dikarenakan darurat, seperti :
Seorang Ibu jika hamil dikhawatirkan akan binasa atau meninggal dunia, maka dalam keadaan seperti inilah yang disebut darurat, dan tidak mengapa jika si wanita melakukan usaha untuk mencegah keturunan. Inilah dia udzur yang membolehkan mencegah keturunan.
Juga seperti wanita tertimpa penyakit di rahimnya, dan ditakutkan penyakitnya akan menjalar sehingga akan menyebabkan kematian, sehingga rahimnya harus diangkat, maka tidak mengapa. [Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah Juz 2 hal. 974-975]
Pertanyaan.
“Kapan seorang wanita diperbolehkan memakai pil-pil pencegah kehamilan, dan kapan hal itu diharamkan ? Adakah nash yang tegas atau pendapat di dalam fiqih dalam masalah KB? Dan bolehkah seorang muslim melakukan azal kerika berjima tanpa sebab?”
Jawaban.
Seyogyanya bagi kaum msulimin untuk memperbanyak keturunan sebanyak mungkin, karena hal itu adalah perkara yang diarahkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya.
Artinya : “Nikahilah wanita yang penyayang dan banyak anak karena aku akan berlomba dalam banyak jumlahnya umat” [Hadits Shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud 1/320, Nasa’i 2/71, Ibnu Hibban no. 1229, Hakim 2/162, Baihaqi 781, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 3/61-62]
Dan karena banyaknya umat menyebabkan (cepat bertambahnya) banyaknya umat, dan banyaknya umat merupakan salah satu sebab kemuliaan umat, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika menyebutkan nikmat-Nya kepada Bani Israil.
Artinya : “Dan Kami jadikan kamu kelompok yang lebih besar” [Al-Isra’ : 6]
Artinya : “Dan ingatlah di waktu dahulunya kamu berjumlah sedikit, lalu Allah memperbanyak jumlah kamu” [Al-A’raf : 86]
Dan tidak ada seorangpun mengingkari bahwa banyaknya umat merupakan sebab kemuliaan dan kekuatan suatu umat, tidak sebagaimana anggapan orang-orang yang memiliki prasangka yang jelek, (yang mereka) menganggap bahwa banyaknya umat merupakan sebab kemiskinan dan kelaparan. Jika suatu umat jumlahnya banyak dan mereka bersandar dan beriman dengan janji Allah dan firman-Nya.
Artinya : “Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya” [Hud : 6]
Maka Allah pasti akan mempermudah umat tersebut dan mencukupi umat tersebut dengan karunia-Nya.
Berdasarkan penjelasan ini, jelaslah jawaban pertanyaan di atas, maka tidak sepantasnya bagi seorang wanita untuk mengkonsumsi pil-pil pencegah kehamilan kecuali dengan dua syarat.
Adanya keperluan seperti ; Wanita tersebut memiliki penyakit yang menghalanginya untuk hamil setiap tahun, atau, wanita tersebut bertubuh kurus kering, atau adanya penghalang-penghalang lain yang membahayakannya jika dia hamil tiap tahun.
Adanya ijin dari suami. Karena suami memiliki hak atas istri dalam masalah anak dan keturunan. Disamping itu juga harus bermusyawarah dengan dokter terpercaya di dalam masalah mengkonsumsi pil-pil ini, apakah pemakaiannya membahayakan atau tidak.
Jika dua syarat di atas dipenuhi maka tidak mengapa mengkonsumsi pil-pil ini, akan tetapi hal ini tidak boleh dilakukan terus menerus, dengan cara mengkonsumsi pil pencegah kehamilan selamanya misalnya, karena hal ini berarti memutus keturunan.
Adapun point kedua dari pertanyaan di atas maka jawabannya adalah sebagai berikut : Pembatasan keturunan adalah perkara yang tidak mungkin ada dalam kenyataan karena masalah hamil dan tidak, seluruhnya di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika seseorang membatasi jumlah anak dengan jumlah tertentu, maka mungkin saja seluruhnya mati dalam jangka waktu satu tahun, sehingga orang tersebut tidak lagi memiliki anak dan keturunan. Masalah pembatas keturunan adalah perkara yang tidak terdapat dalam syari’at Islam, namun pencegahan kehamilan secara tegas dihukumi sebagaimana keterangan di atas.
Adapun pertanyaan ketiga yang berkaitan dengan ‘azal ketika berjima’ tanpa adanya sebab, maka pendapat para ahli ilmu yang benar adalah tidak mengapa karena hadits dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu.
Artinya : “Kami melakukan ‘azal sedangkan Al-Qur’an masih turun (yakni dimasa nabi Shallallahu ‘alihi wa sallam)” [Hadits Shahih Riwayat Abu Dawud 1/320 ; Nasa’i 2/71, Ibnu Hibban no. 1229, Hakim 2/162, Baihaqi 781, Abu nu’aim dalam Al-hilyah 3/61-62]
Seandainya perbuatan itu haram pasti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarangnya. Akan tetapi para ahli ilmu mengatakan bahwa tidak boleh ber’azal terhadap wanita merdeka (bukan budak) kecuali dengan ijinya, yakni seorang suami tidak boleh ber’azal terhadap istri, karena sang istri memiliki hak dalam masalah keturunan. Dan ber’azal tanpa ijin istri mengurangi rasa nikmat seorang wanita, karena kenikmatan seorang wanita tidaklah sempurna kecuali sesudah tumpahnya air mani suami.
Berdasarkan keterangan ini maka ‘azal tanpa ijin berarti menghilangkan kesempurnaan rasa nikmat yang dirasakan seorang istri, dan juga menghilangkan adanya kemungkinan untuk mendapatkan keturunan. Karena ini kami menysaratkan adanya ijin dari sang istri”. [Fatawa Syaikh ibnu Utsaimin Juj 2 hal. 764 dinukil dari Fatawa Li’umumil Ummah]
[As-sunnah edisi 01/Tahun V/2001M/1421H]
Baca Selengkapnya...
0

Sepuluh Wasiat Untuk Istri Yang Mendambakan "Keluarga Bahagia Tanpa Problema"


Wanita Sholihah !
Berikut ini sepuluh wasiat untuk wanita, untuk istri, untuk ibu rumah tangga dan ibunya anak-anak yang ingin menjadikan rumahnya sebagai pondok yang tenang dan tempat nan aman yang dipenuhi cinta dan kasih sayang, ketenangan dan kelembutan.

Wahai wanita mukminah!

Sepuluh wasiat ini aku persembahkan untukmu, yang dengannya engkau membuat ridla Tuhanmu, engau dapat membahagiakan suamimu dan engkau dapat menjaga tahtamu.

Wasiat Pertama: Takwa kepada Allah dan menjauhi maksiat

Bila engkau ingin kesengsaraan bersarang di rumahmu dan bertunas, maka bermaksiatlah kepada Allah!!

Sesungguhnya kemaksiatan menghancurkan negeri dan menggoncangkan kerajaan. Maka janganlah engkau goncangkan rumahmu dengan berbuat maksiat kepada Allah dan jangan engkau seperti Fulanah yang telah bermaksiat kepada Allah… Maka ia berkata dengan menyesal penuh tangis setelah dicerai oleh sang suami: “Ketaatan menyatukan kami dan maksiat menceraikan kami…”

Wahai hamba Allah… Jagalah Allah niscaya Dia akan menjagamu dan menjaga untukmu suamimu dan rumahmu. Sesungguhnya ketaatan akan mengumpulkan hati dan mempersatukannya, sedangkan kemaksiatan akan mengoyak hati dan mencerai-beraikan keutuhannya.

Karena itulah, salah seorang wanita shalihah jika mendapatkan sikap keras dan berpaling dari suaminya, ia berkata “Aku mohon ampun kepada Allah… itu terjadi karena perbuatan tanganku (kesalahanku)…”

Maka hati-hatilah wahai saudariku muslimah dari berbuat maksiat, khususnya:

* Meninggalkan shalat atau mengakhirkannya atau menunaikannya dengan cara yang tidak benar. Duduk di majlis ghibah dan namimah, berbuat riya’ dan sum’ah.
* Menjelekkan dan mengejek orang lain. Allah berfirman:


“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain(karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan) dan janganlah wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan).” (Al Hujuraat: 11)

* Keluar menuju pasar tanpa kepentingan yang sangat mendesak dan tanpa didampingi mahram. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:


أَحَبُّ الْبِلادِ إِلَى اللهِ مَسَاجِدُهُمْ وَأَبْغَضَ الْبِلادِ إِلَى اللهِ أَسْوَاقُهُمْ

“Negeri yang paling dicintai Allah adalah masjid-masjidnya dan negeri yang paling dibenci Allah adalah pasar-pasarnya.”1

* Mendidik anak dengan pendidikan barat atau menyerahkan pendidikan anak kepada para pembantu dan pendidik-pendidik yang kafir.
* Meniru wanita-wanita kafir. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:


مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka.”2

* Menyaksikan film-film porno dan mendengarkan nyanyian.
* Membaca majalah-majalah lawakan/humor.
* Membiarkan sopir dan pembantu masuk ke dalam rumah tanpa kepentingan mendesak.
* Membiarkan suami dalam kemaksiatannya.3
* Bersahabat dengan wanita-wantia fajir dan fasik. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

الْمَرْءُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ
“Seseorang itu menurut agama temannya.” 4

* Tabarruj (pamer kecantikan) dan sufur (membuka wajah)

Wasiat kedua: Berupaya mengenal dan memahami suami

Hendaknya seorang istri berupaya memahami suaminya. Ia tahu apa yang disukai suami maka ia berusaha memenuhinya. Dan ia tahu apa yang dibenci suami maka ia berupaya untuk menjauhinya, dengan catatan selama tidak dalam perkara maksiat kepada Allah, karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Al Khaliq (Allah Ta`ala). Berikut ini dengarkanlah kisah seorang istri yang bijaksana yang berupaya memahami suaminya.

Berkata sang suami kepada temannya: “Selama dua puluh tahun hidup bersama belum pernah aku melihat dari istriku perkara yang dapat membuatku marah.”

Maka berkata temannya dengan heran: “Bagaimana hal itu bisa terjadi.”

Berkata sang suami: “Pada malam pertama aku masuk menemui istriku, aku mendekat padanya dan aku hendak menggapainya dengan tanganku, maka ia berkata: ‘Jangan tergesa-gesa wahai Abu Umayyah.’ Lalu ia berkata: ‘Segala puji bagi Allah dan shalawat atas Rasulullah… Aku adalah wanita asing, aku tidak tahu tentang akhlakmu, maka terangkanlah kepadaku apa yang engkau sukai niscaya aku akan melakukannya dan apa yang engkau tidak sukai niscaya aku akan meninggalkannya.’ Kemudian ia berkata: ‘Aku ucapkan perkataaan ini dan aku mohon ampun kepada Allah untuk diriku dan dirimu.’”

Berkata sang suami kepada temannya: “Demi Allah, ia mengharuskan aku untuk berkhutbah pada kesempatan tersebut. Maka aku katakan: ‘Segala puji bagi Allah dan aku mengucapkan shalawat dan salam atas Nabi dan keluarganya. Sungguh engkau telah mengucapkan suatu kalimat yang bila engkau tetap berpegang padanya, maka itu adalah kebahagiaan untukmu dan jika engkau tinggalkan (tidak melaksanakannya) jadilah itu sebagai bukti untuk menyalahkanmu. Aku menyukai ini dan itu, dan aku benci ini dan itu. Apa yang engkau lihat dari kebaikan maka sebarkanlah dan apa yang engkau lihat dari kejelekkan tutupilah.’ Istri berkata: ‘Apakah engkau suka bila aku mengunjungi keluargaku?’ Aku menjawab: ‘Aku tidak suka kerabat istriku bosan terhadapku’ (yakni si suami tidak menginginkan istrinya sering berkunjung). Ia berkata lagi: ‘Siapa di antara tetanggamu yang engkau suka untuk masuk ke rumahmu maka aku akan izinkan ia masuk? Dan siapa yang engkau tidak sukai maka akupun tidak menyukainya?’ Aku katakan: ‘Bani Fulan adalah kaum yang shaleh dan Bani Fulan adalah kaum yang jelek.’”

Berkata sang suami kepada temannya: “Lalu aku melewati malam yang paling indah bersamanya. Dan aku hidup bersamanya selama setahun dalam keadaan tidak pernah aku melihat kecuali apa yang aku sukai. Suatu ketika di permulaan tahun, tatkala aku pulang dari tempat kerjaku, aku dapatkan ibu mertuaku ada di rumahku. Lalu ibu mertuaku berkata kepadaku: ‘Bagaimana pendapatmu tentang istrimu?’”

Aku jawab: “Ia sebaik-baik istri.”

Ibu mertuaku berkata: “Wahai Abu Umayyah.. Demi Allah, tidak ada yang dimiliki para suami di rumah-rumah mereka yang lebih jelek daripada istri penentang (lancang). Maka didiklah dan perbaikilah akhlaknya sesuai dengan kehendakmu.”

Berkata sang suami: “Maka ia tinggal bersamaku selama dua puluh tahun, belum pernah aku mengingkari perbuatannya sedikitpun kecuali sekali, itupun karena aku berbuat dhalim padanya.”5

Alangkah bahagia kehidupannya…! Demi Allah, aku tidak tahu apakah kekagumanku tertuju pada istri tersebut dan kecerdasan yang dimilikinya? Ataukah tertuju pada sang ibu dan pendidikan yang diberikan untuk putrinya? Ataukah terhadap sang suami dan hikmah yang dimilikinya? Itu adalah keutamaan Allah yang diberikannya kepada siapa yang Dia kehendaki.

Wasiat ketiga: Ketaatan yang nyata kepada suami dan bergaul dengan baik

Sesungguhnya hak suami atas istrinya itu besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَوْ كُنْتُ آمِرَا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا

“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya.”6

Hak suami yang pertama adalah ditaati dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah dan baik dalam bergaul dengannya serta tidak mendurhakainya. Bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

إِثْنَانِ لا تُجَاوِزُ صَلاتُهُمَا رُؤُوْسُهُمَا: عَبْدٌ آبَق مِنْ مَوَالِيْهِ حَتَّى يَرْجِعَ وَامْرَأَةٌ عَصَتْ زَوْجَهَا حَتَّى تَرْجِعَ

“Dua golongan yang shalatnya tidak akan melewati kepalanya, yaitu budak yang lari dari tuannya hingga ia kembali dan istri yang durhaka kepada suaminya hingga ia kembali.”7

Karena itulah Aisyah Ummul Mukminin berkata dalam memberi nasehat kepada para wanita: “Wahai sekalian wanita, seandainya kalian mengetahui hak suami-suami kalian atas diri kalian niscaya akan ada seorang wanita di antara kalian yang mengusap debu dari kedua kaki suaminya dengan pipinya.”8

Engkau termasuk sebaik-baik wanita!!

Dengan ketaatanmu kepada suamimu dan baiknya pergaulanmu terhadapnya, engkau akan menjadi sebaik-baik wanita, dengan izin Allah. Pernah ada yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Wanita bagaimanakah yang terbaik?” Beliau menjawab:

اَلَّتِى تَسِرُّهُ إِذَا نَظَرَ، وَتُطِيْعُهُ إِذَا أَمَرَ، وَلا تُخَالِفُهُ فِيْ نَفْسِهَا وَلا مَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ

“Yang menyenangkan suami ketika dipandang, taat kepada suami jika diperintah dan ia tidak menyalahi pada dirinya dan hartanya dengan yang tidak disukai suaminya.” (Isnadnya hasan)

Ketahuilah, engkau termasuk penduduk surga dengan izin Allah, jika engkau bertakwa kepada Allah dan taat kepada suamimu, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

اَلْمَرْأَةُ إِذَا صَلَّتْ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَأَحْصَنَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا، فَلْتَدْخُلُ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ

“Bila seorang wanita shalat lima waktu, puasa pada bulan Ramadlan, menjaga kemaluannya dan taat kepada suaminya, ia akan masuk surga dari pintu mana saja yang ia inginkan.” 9

Wasiat keempat: Bersikap qana’ah (merasa cukup)

Kami menginginkan wanita muslimah ridla dengan apa yang diberikan (suami) untuknya baik itu sedikit ataupun banyak. Maka janganlah ia menuntut di luar kesanggupan suaminya atau meminta sesuatu yang tidak perlu. Dalam riwayat disebutkan “Wanita yang paling besar barakahnya.” Wahai siapa gerangan wanita itu?! Apakah dia yang menghambur-hamburkan harta menuruti selera syahwatnya dan mengenyangkan keinginannya? Ataukah dia yang biasa mengenakan pakaian termahal walau suaminya harus berhutang kepada teman-temannya untuk membayar harganya?! Sekali-kali tidak… demi Allah, namun (mereka adalah):

أَعْظَمُ النِّسَاءِ بَرَكَةٌ، أَيْسَرُّهُنَّ مُؤْنَةً

“Wanita yang paling besar barakahnya adalah yang paling ringan maharnya.”10

Renungkanlah wahai suadariku muslimah adabnya wanita salaf radliallahu ‘anhunna… Salah seorang dari mereka bila suaminya hendak keluar rumah ia mewasiatkan satu wasiat padanya. Apa wasiatnya? Ia berkata kepada sang suami: “Hati-hatilah engkau wahai suamiku dari penghasilan yang haram, karena kami bisa bersabar dari rasa lapar namun kami tidak bisa sabar dari api neraka…”

Adapun sebagian wanita kita pada hari ini apa yang mereka wasiatkan kepada suaminya jika hendak keluar rumah?! Tak perlu pertanyaan ini dijawab karena aku yakin engkau lebih tahu jawabannya dari pada diriku.

Wasiat kelima: Baik dalam mengatur urusan rumah, seperti mendidik anak-anak dan tidak menyerahkannya pada pembantu, menjaga kebersihan rumah dan menatanya dengan baik dan menyiapkan makan pada waktunya. Termasuk pengaturan yang baik adalah istri membelanjakan harta suaminya pada tempatnya (dengan baik), maka ia tidak berlebih-lebihan dalam perhiasan dan alat-alat kecantikan.

Renungkanlah semoga Allah menjagamu, kisah seorang wanita, istri seorang tukang kayu… Ia bercerita: “Jika suamiku keluar mencari kayu (mengumpulkan kayu dari gunung) aku ikut merasakan kesulitan yang ia temui dalam mencari rezki, dan aku turut merasakan hausnya yang sangat di gunung hingga hampir-hampir tenggorokanku terbakar. Maka aku persiapkan untuknya air yang dingin hingga ia dapat meminumnya jika ia datang. Aku menata dan merapikan barang-barangku (perabot rumah tangga) dan aku persiapkan hidangan makan untuknya. Kemudian aku berdiri menantinya dengan mengenakan pakaianku yang paling bagus. Ketika ia masuk ke dalam rumah, aku menyambutnya sebagaimana pengantin menyambut kekasihnya yang dicintai, dalam keadaan aku pasrahkan diriku padanya… Jika ia ingin beristirahat maka aku membantunya dan jika ia menginginkan diriku aku pun berada di antara kedua tangannya seperti anak perempuan kecil yang dimainkan oleh ayahnya.”

Wasiat keenam: Baik dalam bergaul dengan keluarga suami dan kerabat-kerabatnya, khususnya dengan ibu suami sebagai orang yang paling dekat dengannya. Wajib bagimu untuk menampakkan kecintaan kepadanya, bersikap lembut, menunjukkan rasa hormat, bersabar atas kekeliruannya dan engkau melaksanakan semua perintahnya selama tidak bermaksiat kepada Allah semampumu.

Berapa banyak rumah tangga yang masuk padanya pertikaian dan perselisihan disebabkan buruknya sikap istri terhadap ibu suaminya dan tidak adanya perhatian akan haknya. Ingatlah wahai hamba Allah, sesungguhnya yang bergadang dan memelihara pria yang sekarang menjadi suamimu adalah ibu ini, maka jagalah dia atas kesungguhannya dan hargailah apa yang telah dilakukannya. Semoga Allah menjaga dan memeliharamu. Maka adakah balasan bagi kebaikan selain kebaikan?

Wasiat ketujuh: Menyertai suami dalam perasaannya dan turut merasakan duka cita dan kesedihannya.

Jika engkau ingin hidup dalam hati suamimu maka sertailah dia dalam duka cita dan kesedihannya. Aku ingin mengingatkan engkau dengan seorang wanita yang terus hidup dalam hati suaminya sampaipun ia telah meninggal dunia. Tahun-tahun yang terus berganti tidak dapat mengikis kecintaan sang suami padanya dan panjangnya masa tidak dapat menghapus kenangan bersamanya di hati suami. Bahkan ia terus mengenangnya dan bertutur tentang andilnya dalam ujian, kesulitan dan musibah yang dihadapi. Sang suami terus mencintainya dengan kecintaan yang mendatangkan rasa cemburu dari istri yang lain, yang dinikahi sepeninggalnya. Suatu hari istri yang lain itu (yakni Aisyah radliallahu ‘anha) berkata:

مَا غِرْتُ عَلَى امْرَأَةٍ لِلنَّبِيِّ؟ مَا غِرْتُ عَلَى خَدِيْجَةَ هَلَكَتْ قَبْلَ أَنْ يَتَزَوَّجَنِي، لَمَّا كُنْتُ أَسْمَعُهُ يَذْكُرُهَا

“Aku tidak pernah cemburu kepada seorang pun dari istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seperti cemburuku pada Khadijah, padahal ia meninggal sebelum beliau menikahiku, mana kala aku mendengar beliau selalu menyebutnya.”11

Dalam riwayat lain:

مَا غِرْتُ عَلَى أَحَدٍ مِنْ نِسَاءِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا غِرْتُ عَلَى خَدِيْجَةَ وَمَا رَأَيْتُهَا وَلَكِنْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكْثِرُ ذِكْرَهَا

“Aku tidak pernah cemburu kepada seorangpun dari istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seperti cemburuku pada Khadijah, padahal aku tidak pernah melihatnya, akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam banyak menyebutnya.”12

Suatu kali Aisyah berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setelah beliau menyebut Khadijah:

كَأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ فِي الدُّنْيَا امْرَأَةٌ إِلا خَدِيْجَةُ فَيَقُولُ لَهَا إِنَّهَا كَانَتْ وَكَانَتْ

“Seakan-akan di dunia ini tidak ada wanita selain Khadijah?!” Maka beliau berkata kepada Aisyah: ‘Khadijah itu begini dan begini.’”13

Dalam riwayat Ahmad pada Musnadnya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “begini dan begini” (dalam hadits diatas) adalah sabda beliau:

آمَنَتْبِي حِيْنَ كَفَرَ النَّاسُ وَصَدَّقَتْنِي إِذْكَذَّبَنِي النَّاسُ رَوَاسَتْنِي بِمَالِهَا إِذْحَرَمَنِي النَّاسُ وَرَزَقَنِي اللهُ مِنْهَا الوَلَد

“Ia beriman kepadaku ketika semua orang kufur, ia membenarkan aku ketika semua orang mendustakanku, ia melapangkan aku dengan hartanya ketika semua orang meng-haramkan (menghalangi) aku dan Allah memberiku rezki berupa anak darinya.”14

Dialah Khadijah yang seorangpun tak akan lupa bagaimana ia mengokohkan hati Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan memberi dorongan kepada beliau. Dan ia menyerahkan semua yang dimilikinya di bawah pengaturan beliau dalam rangka menyampaikan agama Allah kepada seluruh alam.

Seorangpun tidak akan lupa perkataannya yang masyhur yang menjadikan Nabi merasakan tenang setelah terguncang dan merasa bahagia setelah bersedih hati ketika turun wahyu pada kali yang pertama:

وَاللهُ لا يُخْزِيْكَ اللهُ أَبَدًا إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ وَتَحْمِلُ الْكَلَّ وَتَكْسِبُ الْمَعْدُوْمَ وَتُعِيْنُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ

“Demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu selama-lamanya. Karena sungguh engkau menyambung silaturahmi, menanggung orang lemah, menutup kebutuhan orang yang tidak punya dan engkau menolong setiap upaya menegakkan kebenaran.”15

Jadilah engkau wahai saudari muslimah seperi Khadijah, semoga Allah meridhainya dan meridlai kita semua.

Wasiat kedelapan: Bersyukur (berterima kasih) kepada suami atas kebaikannya dan tidak melupakan keutamaanya.

Siapa yang tidak tahu berterimakasih kepada manusia, ia tidak akan dapat bersyukur kepada Allah. Maka janganlah meniru wanita yang jika suaminya berbuat kebaikan padanya sepanjang masa (tahun), kemudian ia melihat sedikit kesalahan dari suaminya, ia berkata: “Aku sama sekali tidak melihat kebaikan darimu…” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:

يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ فَإِنِّي رَأَيْتُكُنَّ أَكْثَرَ اَهْلِ النَّارِ فَقُلْنَ يَا رَسُولَ اللهِ وَلَمْ ذَلِكَ قَالَ تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ

“Wahai sekalian wanita bersedekahlah karena aku melihat mayoritas penduduk nereka adalah kalian.” Maka mereka (para wanita) berkata: “Ya Rasulullah kepada demikian?” Beliau menjawab: “Karena kalian banyak melaknat dan mengkufuri kebaikan suami.”16

Mengkufuri kebikan suami adalah menentang keutamaan suami dan tidak menunaikan haknya.

Wahai istri yang mulia! Rasa terima kasih pada suami dapat engkau tunjukkan dengan senyuman manis di wajahmu yang menimbulkan kesan di hatinya, hingga terasa ringan baginya kesulitan yang dijumpai dalam pekerjaannya. Atau engkau ungkapkan dengan kata-kata cinta yang memikat yang dapat menyegarkan kembali cintamu dalam hatinya. Atau memaafkan kesalahan dan kekurangannya dalam menunaikan hakmu. Namun di mana bandingan kesalahan itu dengan lautan keutamaan dan kebaikannya padamu.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لا يَنْظُرُ اللهَ إِلَى امْرَأَةٍ لا تَشْكُرُ زَوْجَهَا وَهِيَ لا تَسْتَغْنِيَ عَنْهُ

“Allah tidak akan melihat kepada istri yang tidak tahu bersyukur kepada suaminya dan ia tidak merasa cukup darinya.”17

Wasiat kesembilan: Menyimpan rahasia suami dan menutupi kekurangannya (aibnya).

Istri adalah tempat rahasia suami dan orang yang paling dekat dengannya serta paling tahu kekhususannya (yang paling pribadi dari diri suami). Bila menyebarkan rahasia merupakan sifat yang tercela untuk dilakukan oleh siapa pun maka dari sisi istri lebih besar dan lebih jelek lagi.

Sesungguhnya majelis sebagian wanita tidak luput dari membuka dan menyebarkan aib-aib suami atau sebagian rahasianya. Ini merupakan bahaya besar dan dosa yang besar. Karena itulah ketika salah seorang istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebarkan satu rahasia beliau, datang hukuman keras, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersumpah untuk tidak mendekati isti tersebut selama satu bulan penuh.

Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat-Nya berkenaan dengan peristiwa tersebut.

وَإِذْ أَسَرَّ النَّبِيُّ إِلَى بَعْضِ أَزْوَاجِهِ حَدِيثًا فَلَمَّا نَبَّأَتْ بِهِ وَأَظْهَرَهُ اللهُ عَلَيْهِ عَرَّفَ بَعْضَهُ وَأَعْرَضَ عَنْ بَعْضٍ

“Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dari isteri-isterinya suatu peristiwa. Maka tatkala si istri menceritakan peristiwa itu (kepada yang lain), dan Allah memberitahukan hal itu kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepada beliau) dan menyembunyikan sebagian yang lain.” (At Tahriim: 3)

Suatu ketika Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam mengunjungi putranya Ismail, namun beliau tidak mejumpainya. Maka beliau tanyakan kepada istri putranya, wanita itu menjawab: “Dia keluar mencari nafkah untuk kami.” Kemudian Ibrahim bertanya lagi tentang kehidupan dan keadaan mereka. Wanita itu menjawab dengan mengeluh kepada Ibrahim: “Kami adalah manusia, kami dalam kesempitan dan kesulitan.” Ibrahim ‘Alaihis Salam berkata: “Jika datang suamimu, sampaikanlah salamku padanya dan katakanlah kepadanya agar ia mengganti ambang pintunya.” Maka ketika Ismail datang, istrinya menceritakan apa yang terjadi. Mendengar hal itu, Ismail berkata: “Itu ayahku, dan ia memerintahkan aku untuk menceraikanmu. Kembalilah kepada keluargamu.” Maka Ismail menceraikan istrinya. (Riwayat Bukhari)

Ibrahim ‘Alaihis Salam memandang bahwa wanita yang membuka rahasia suaminya dan mengeluhkan suaminya dengan kesialan, tidak pantas untuk menjadi istri Nabi maka beliau memerintahkan putranya untuk menceraikan istrinya.

Oleh karena itu, wahai saudariku muslimah, simpanlah rahasia-rahasia suamimu, tutuplah aibnya dan jangan engkau tampakkan kecuali karena maslahat yang syar’i seperti mengadukan perbuatan dhalim kepada Hakim atau Mufti (ahli fatwa) atau orang yang engkau harapkan nasehatnya. Sebagimana yang dilakukan Hindun radliallahu ‘anha di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Hindun berkata: “Abu Sufyan adalah pria yang kikir, ia tidak memberiku apa yang mencukupiku dan anak-anakku. Apakah boleh aku mengambil dari hartanya tanpa izinnya?!”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Ambillah yang mencukupimu dan anakmu dengan cara yang ma`ruf.”

Cukup bagimu wahai saudariku muslimah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

إِنَّ مِنْ شَرِ النَّاسِ عِنْدَ اللهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ الرَّجُلَ يُفْضِي إِلَى امْرَأَتِهِ وَتُفْضِي إِلَيْهِ ثُمَّ يَنْشُرُ أَحَدُهُمَا سِرُّ صَاحِبَهُ

“Sesungguhnya termasuk sejelek-jelek kedudukan manusia pada hari kiamat di sisi Allah adalah pria yang bersetubuh dengan istrinya dan istri yang bersetubuh dengan suaminya, kemudian salah seorang dari keduanya menyebarkan rahasia pasanannya.”18

Wasiat terakhir: Kecerdasan dan kecerdikan serta berhati-hati dari kesalahan-kesalahan.

* Termasuk kesalahan adalah: Seorang istri menceritakan dan menggambarkan kecantikan sebagian wanita yang dikenalnya kepada suaminya, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang yang demikian itu dengan sabdanya:

لا تُبَاشِرُ مَرْأَةُ الْمَرْأَةَ فَتَنْعَتَهَا لِزَوْجِهَا كَأَنَّهُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا

“Janganlah seorang wanita bergaul dengan wanita lain lalu ia mensifatkan wanita itu kepada suaminya sehingga seakan-akan suaminya melihatnya.”19

Tahukah engkau mengapa hal itu dilarang?!

* Termasuk kesalahan adalah apa yang dilakukan sebagian besar istri ketika suaminya baru kembali dari bekerja. Belum lagi si suami duduk dengan enak, ia sudah mengingatkannya tentang kebutuhan rumah, tagihan, tunggakan-tunggakan dan uang jajan anak-anak. Dan biasanya suami tidak menolak pembicaraan seperti ini, akan tetapi seharusnyalah seorang istri memilih waktu yang tepat untuk menyampaikannya.

* Termasuk kesalahan adalah memakai pakaian yang paling bagus dan berhias dengan hiasan yang paling bagus ketika keluar rumah. Adapun di hadapan suami, tidak ada kecantikan dan tidak ada perhiasan.

Dan masih banyak lagi kesalahan lain yang menjadi batu sandungan (penghalang) bagi suami untuk menikmati kesenangan dengan istrinya. Istri yang cerdas adalah yang menjauhi semua kesalahan itu.

Penulis: Mazin bin Abdul Karim Al Farih
Baca Selengkapnya...
0

MENGEMBALIKAN FITRAH DENGAN PUASA

JAMA’AH JUM’AT RAHIMAKUMULLAH
Pada hari yang berbahagia ini, dalam suasana Idul Fitri dan Halal Bi Halal yang penuh kesucian, tidak henti-hentinya kita mengucap syukur atas semua ni’mat yang telah Allah berikan kepada kita. Karena setelah sebulan penuh kita melaksanakan Ibadah puasa kembali Allah memberikan nikmat tak terhingga dengan mengantarkan kita sebagai hamba-Nya pada Fitrahnya masing-masing.
Selanjutnya, dengan penuh keikhlasan dan rasa cinta yang dalam, marilah kita panjatkan shalawat dan salam kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW beserta para sahabat, keluarga dan ahli warisnya sekalian.
Kaum Muslimin Rahimakumullah
Mungkin masih terngiang dalam ingatan kita bahwa seminggu yang lalu, kita semua masih berada dalam bulan Ramadhan yang penuh Barokah dan Ampunan. Belum lagi kering lidah kita yang senantiasa bertasbih memuji Allah pada bulan itu, dan belum keluh lidah ini yang selama sebulan di siang hari tidak dapat mengecap makanan dan minuman yang lezat. Maka pada kesempatan yang berbahagia ini, mumpung memori Ramadhan masih ada dalam benak kita, maka tidak ada salahnya jika kita sejenak membuka kembali lembaran-lembaran ibadah puasa yang kita telah laksanakan sebulan lamanya itu. Hampir setiap saat di bulan Ramadhan kita sering mendengar betapa sering para Muballigh mengemukakan firman Allah SWT didalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 183 :



“Hai Orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana yang telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”
Mari kita Renungkan! Didalam firman Allah ini, jelas terlihat bahwa kewajiban puasa merupakan ketentuan Allah yang memiliki dimensi pokok sekaligus dapat mengantarkan manusia beriman untuk mencapai derajat takwa. Dan ketika seorang hamba telah sampai pada tingkatan taqwa tersebut maka secara otomatis ia akan mendapatkan ridha, rahmat dan ampunan dari Allah SWT. Adapun hal pokok yang dimaksudkan dari kewajiban puasa tersebut, bahwa puasa mendidik manusia untuk mengetahui dan mengenal jati diri yang sesungguhnya. Dalam arti yang lebih sederhana bahwa puasa merupakan fitrah yang diwajibkan kepada hamba-hamba yang menyatakan diri beriman kepada Allah.
Hal ini terlihat jelas, setelah sekian lama kita menjalani hidup diatas dunia ini, setelah sekian tahun kita menghabiskan umur yang tersisa, bukan tidak mungkin banyak diantara kita yang terjebak dengan pengaruh dan pesona kehidupan duniawi, banyak diantara kita yang meninggalkan perintah-perintah Allah dan bisa jadi banyak manusia yang kehilangan jati diri dengan sengaja lupa atau melupakan Allah sebagai satu-satunya Zat yang wajib disembah. Ini semua disebabkan karena banyak diantara kita yang terlalu sibuk bahkan mati-matian untuk mengejar kehidupan dunia yang fana ini.
Setiap hari seakan kita terjebak dalam skema rutinitas yang hampir tidak pernah berubah. Orientasi atau tujuan hidup kita seakan hanya diarahkan untuk kepentingan-kepentingan duniawi yang semu. Setiap menit dari umur kita hanya dihabiskan untuk mengejar kekayaan, kesuksesan duniawi atau kenikmatan semu yang menggiurkan. Oleh karena, tujuan hidup kita yang hanya terjebak pada keinginan-keinginan syahwati itu dan orang-orang mengukur kebahagiaan seseorang dengan kekayaan, kekuasaan dsb, maka tidak menutup kemungkinan pada posisi ini manusia seakan kehilangan jati diri dan seolah-olah jauh dari fitrahnya sendiri. Kita bisa saksikan berapa banyak orang yang kaya namun kekayaannya diperoleh dengan cara menipu atau mungkin merampas hak orang lain. Hal ini sangat bertolak belakang dengan fitrah kita yang telah diberikan Allah sifat jujur dan penuh kasih. Berapa banyak orang yang telah memutuskan tali silaturrahmi dengan keluarga dan saudaranya hanya karena kita tidak memperoleh pembagian harta warisan. Bukankah hal ini menunjukkan bahwa kita telah kehilangan jati diri kita yang telah diberikan Allah sifat untuk menyatu dan saling menyayangi. Dalam tayangan TV atau mungkin yang sering terjadi disekeliling kita banyak diantara saudara-saudara kita, serba kerkurangan dan tidak memiliki apa-apa, banyak anak-anak miskin yang terpaksa tidak mengenyam pendidikan hanya karena orang tuanya tidak mampu dan begitu banyak orangtua-orangtua disekeliling kita dengan penghasilan pas-pasan bekerja keras dan membanting tulang, berusaha mencari sesuap nasi untuk menghidupi anak dan istrinya. Mereka semua terpaksa menjalani hidup ini dengan derita dan linangan airmata. Selaku hamba Allah yang dibekali sifat dermawan, sifat penyantun serta sikap selalu menyayangi dimanakah kita pada saat itu ? Dimanakah orang yang merasa memiliki kekayaan ? Dimanakah kita yang mengaku sebagai umat rahmatan lil ‘alamin ? Kalau hanya ketika diminta membantu saudara-saudara kita itu, kita merasa enggan untuk menolongnya.
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
Oleh karena itu, melalui bulan suci Ramadhan yang telah kita lalui bersama dengan kewajiban melaksanakan ibadah puasa, kita dididik untuk kembali merenung dan mengembalikan jati diri kita pada fitrahnya yang selama ini telah ternodai dengan keinginan-keinginan kita yang lebih didominasi nafsu syahwat. Kita diperintahkan untuk menahan lapar dan haus bukan keinginan Allah untuk menyiksa kita melainkan mendidik agar kita tahu bahwa disaat kita lemah, pada posisi itu kita hanyalah makhluk Allah yang tak berdaya dan tak memiliki apa-apa. Kita diperintahkan untuk menahan lapar dan haus bukan karena Allah ingin kita mati kelaparan namun Allah mendidik kita untuk menyadari bahwa disekeliling masih banyak saudara-saudara kita yang hidup dalam penderitaan lapar dan haus yang berkepanjangan. Dengan tarbiyah dan didikan seperti ini, diharapkan setiap orang yang melaksanakan ibadah puasa mampu mengenal kembali jati dirinya darimana kita berasal dan untuk apa kita hidup diatas dunia ini ? Kekayaan, kesuksesan dan kekuasaan bukanlah merupakan tujuan hidup akan tetapi tidak lebih merupakan pilihan hidup.

Kaum Muslimin………..
Melalui bulan suci Ramadhan yang telah pergi meninggalkan kita serta dalam merayakan hari raya yang fitri, mari kita kembali merenung dan terus memperhitungkan sisa umur yang kita miliki. Mari kita renungkan kembali, kemarin kita masih bisa merasakan indahnya Ramadhan, tahun ini kita masih bisa berpuasa dan mengeluarkan zakat. Tapi, apakah ada jaminan untuk kita bahwa di bulan ramadhan ditahun yang akan datang kita dapat berjumpa lagi dengan bulan Ramadhan ? Banyak jalan yang kita dapat tempuh untuk beribadah kepada Allah, tidak selamanya ibadah itu harus diukur dengan uang. Bagi orang kaya silahkan beribadah dengan kekayaannya, seorang guru beribadahlah dengan ilmunya, seorang petani beribadahlah dengan hasil pertaniannya dan begitu pula dengan profesi-profesi yang lainnya. Dan bagi orang yang merasa diri tidak memiliki apa-apa, jangan merasa minder untuk tidak dapat beribadah kepada Allah karena sebaik-baik ibadahnya orang yang tidak memiliki apa-apa adalah dengan zikir dan berdoa.


“Tidak aku cipatakan Jin dan Manusia melainkan untuk beribadah”


Kaum Muslimin Yang Berbahagia
Sebagai akhir sekaligus sebagai renungan bagi kita, mari kita renungkan. Hidup diatas dunia ini bukanlah kehidupan yang kekal dan setiap perbuatan manusia pasti akan dimintai pertanggungjawaban. Kalau dalam setiap detik dari hidup kita, kalau dari panjangnya umur yang kita miliki kita tidak pernah berbuat baik, kita tidak pernah beribadah kepada Allah dan kalau kita selalu terjebak dalam dosa dan maksiat. Dimanakah waktu yang akan kita pergunakan untuk zikir kepada Allah ? Kalau setiap saat kita hanya asyik dengan minum-minuman keras, setiap waktu kita hanya senang membicarakan aib orang lain, setiap masa kita hanya bisa berlaku curang, bertengkar dengan isteri-isteri dan anak-anak kita, selingkuh atau bahkan sering menzhalimi hak orang lain, apakah yang akan kita bawa menghadap Allah ‘azza Wa Jalla ?
Mari kita renungkan, bagaimana nasib kita kelak ketika Malakul maut datang menjemput kita, sementara kita masih terbalut dosa ? Kita akan dijemput dengan kasar oleh malaikat adzab, kita akan ditolak oleh Allah, kita akan disiksa, kita akan menjerit kesakitan. Namun, jeritan itu tidak didengar oleh anak isteri kita maupun sanak saudara kita. Kita benar-benar menghadapi semua siksa itu dalam kesendirian dan kita akan menyesal dalam penyesalan yang tidak berguna lagi. Kita memohon maaf atas semua dosa yang telah kita lakukan, tapi permohonan kita tidak lagi diterima. Terlambat dan tidak berguna lagi kita bertaubat. Terlambat dan tidak berguna lagi kita meminta maaf. Segalanya telah berlalu begitu cepat, padahal jika kita segera meminta maaf, jika kita segera meminta ampun, kita tidak akan menjerit seperti itu.
Kemarin kita masih hidup, kemarin kita masih mendapati bulan Ramadhan, tapi kita tidak gunakan untuk meminta maaf kepada sesama. Kemarin kita masih bergerak, kemarin kita masih bisa berpuasa tetapi kita tidak gunakan itu untuk meminta ampun kepada Allah. Kemarin kita masih kuat, kita masih muda tetapi kita tidak gunakan itu untuk beribadah. Dan kemarin lidah kita masih bisa bertasbih serta masih ada kesempatan tapi kita lalaikan dan sia-siakan itu semua.
Kini, disaat Ramadhan akan pergi meninggalkan kita, disaat kita telah terbaring kaku, kita tidak bisa lagi bergerak, kita tidak dapat berbuat apa-apa, lidah kita keluh, hati kita gersang barulah kita menyesal dalam penyesalan yang berkepanjangan akibat kelalaian kita sendiri.
Kalau Allah sebagai Zat Yang Maha Kuasa senantiasa membuka pintu maafnya bagi setiap para pendosa dan pembuat kesalahan, jika Allah Yang Maha Kaya senantiasa memberikan ampunan-Nya kepada hamba-hambaNya yang bertobat. Mengapa kita manusia yang serba kekurangan dan lemah ini tak kuasa memberikan maaf kepada saudara-saudara kita, mengapa kita masih enggan untuk menerima uluran permintaan maaf dari tetangga dan sahabat-sahabat kita? Oleh karena itu melalui kesempatan ini, dengan senantiasa mengharapkan rahmat dan ridha Allah, tidak ada kata indah yang kita ucapkan selain ucapan Minal Aidin Wal Faizhin, Mohon maaf lahir dan bathin.
Baca Selengkapnya...
 
Muslim Kaffah Blog's © Copyright 2010 | Design By Gothic Darkness |